Oleh Setta - EraMuslim.Com
Anda tahu penyakit gegar otak? Pasti tahu, minimal pernah mendengarnya karena cukup banyak orang yang pernah mengalaminya. Tetapi kalau kanker otak, kanker darah, TBC usus? Mungkin ada di antara kita yang baru mendengarnya kali ini. Ya, karena hanya ‘orang-orang pilihan’ saja yang diberi ‘kesempatan’ untuk ‘menikmatinya’. Dan seorang sahabat karib saya, Lin—begitu saya lebih suka menyapanya, adalah salah satu dari sedikit ‘orang pilihan’ yang menderita ketiga penyakit itu sekaligus.
Jujur saya tidak dapat membayangkan apa yang dia rasakan, tetapi perasaan saya dapat meraba bagaimana penderitaanya. Namun sikap ceria dan tegarnya yang selalu ia tampilkan di hadapan kami—sahabat-sahabat dekatnya, saat-saat kondisinya membaik, sesungguhnya itu yang ingin saya bagi dengan Anda kali ini. Bahkan saat ia terkapar di tempat tidur pun, ia masih sempat mengungkapkan keceriaannya pada kami lewat pesan singkat.
Saya kadang hanya tersenyum simpul membaca sms-sms darinya. Kemudian me-reply-nya dengan kata-kata penyemangat. Tapi, nun jauh di lubuk hati, ada perasaan sendu mengiris rasa kemanusiaan saya. Dan mata saya memanas. Saya ingin menangis—semoga bukan sebuah ekspresi cengeng yang tidak pada tempatnya. Lin, kau masih sempat bercanda tentang apa yang menimpamu kini?
Ia terlahir sebagai bayi prematur dengan kekebalan tubuh sangat rentan. Saat bayi ia harus diinkubasi, bernafas dengan bantuan selang oksigen. Ia pernah koma berhari-hari, kehilangan nafas 7 jam, muntah darah dari hidung dan telinga hanya lantaran serangan demam berdarah. Beberapa kali harus operasi amandel karena radang tenggorokan akut. Satu matanya pernah hampir tidak dapat melihat lagi akibat suhu tubuhnya di atas suhu tubuh normal berhari-hari tidak turun-turun—thypus. Penyakit paru-paru, jantung, pernah juga ia derita. Pingsan? Jangan tanya berapa kali ia sudah berada dalam kondisi itu—terlalu sering.
“Bagaimana aku makan, jika membayangkan saudara-saudara di pengungsian? Mereka sudah makan belum ya?”
Di lain waktu ia menulis, “Aku merasa seperti penjahat. Di luar sana banyak saudara yang kena musibah, kenapa aku malah tiduran! Aduuh, aku pengin ke Palestin, Libanon, Pangandaran. Pasti keren. Kapan aku bisa ke sana?”
“Seorang buta memaksakan diri berburu ke hutan berbekal sepucuk pistol. Lama ia menunggu di balik belukar hingga telinganya menangkap suara semak berderak-derak tak jauh darinya. Ia yakin, rusa muda yang dinantinya. Dengan naluri, ia membidik: sebuah letusan, sebuah lenguhan pendek. Ia bersorak girang. Tak jauh darinya, sesosok anak manusia tanpa nyawa. Do you know why?” tulis saya coba lebih menenangkannya.
Ah, Lin, mahasiswi semester 7 sebuah PTN berjilbab rapi dengan IPK cum laude itu ternyata hanyalah manusia biasa. Belakangan ia pernah mengeluh “bosan” dengan hari-harinya yang tak lepas dari sakit yang silih berganti menghampiri dan ketergantungan pada obat yang harus ‘dinikmati’-nya setiap 4 jam sekali. Tapi aku sangat yakin, Allah sangat sayang padaku. Jika tidak, mana mungkin Allah akan memberiku kesempatan hidup dengan kondisi kesehatan seperti saat ini? Begitu hampir selalu di akhir keluhan yang terlontar dari bibirnya.
#
Yogyakarta, 17 Januari 2007 @ 14:21:37 Teriring do’a tulus kami untukmu, Lin.
setta_81@yahoo.com
Itulah salah satu sms terakhir darinya yang masuk ke hp saya beberapa waktu lalu yang membuat mata saya mengembun seketika. Tidak, kau sangat layak menjadi bidadari di surga kelak, Lin, insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar